Tuesday 28 October 2025 - 12:47
Nahjul Balaghah Pemersatu Ulama Syiah dan Sunni

Hawzah/ Sebuah pertemuan besar tentang Nahjul Balaghah diselenggarakan atas prakarsa 'Pusat Pemikiran Islam' dan bekerja sama dengan 'Yayasan Abu Thalib', dengan dihadiri oleh sejumlah ulama dan cendekiawan di kota Karachi, Pakistan

Berita Hawzah – Dalam rangka menyebarkan pesan Nahjul Balaghah di tengah masyarakat serta membangkitkan kesadaran intelektual dan moral di berbagai lapisan umat, 'Pusat Pemikiran Islam' bekerja sama dengan Yayasan Abu Thalib Karachi mengadakan acara bertajuk “Konferensi Nahjul Balaghah” di kota Karachi. Acara spiritual ini mendapat sambutan luas dari para ulama, cendekiawan, serta para pecinta Ahlulbait (as).

Dalam konferensi ini, sejumlah ulama terkemuka serta tokoh ilmiah dan budaya menegaskan bahwa Nahjul Balaghah memiliki peran besar dalam memperbaiki pemikiran, moral, dan perilaku sosial umat Islam. Mereka menyebut kitab tersebut sebagai piagam persatuan dan kemajuan spiritual umat Islam.

Hujjatul Islam Liyaqat Ali Awan, direktur Pusat Pemikiran Islam Pakistan, membuka acara dengan menyampaikan ucapan selamat datang kepada para peserta. Ia memaparkan laporan kegiatan ilmiah, budaya, dan keagamaan pusat tersebut serta menekankan pentingnya melanjutkan upaya dalam menyebarkan ajaran Imam Ali (as) dan budaya Al-Qur’an serta Ahlulbait (as).

Pembicara pertama, Qamar Haidar Qamar, seorang penyair pecinta Ahlulbait (as), membuka pidatonya dengan melantunkan syair yang memuji Nahjul Balaghah dan menyanjung Sayidah Fatimah Zahra (sa). Ia membacakan bait indah berikut:

“Hanya satu kata kutulis, dan seluruh qasidah pun terukir:
Aku memuji Muhammad, lalu kutulis nama Zahra.
Seseorang berkata: tulislah kini pujian untuk Zahra, wahai Qamar!
Tanpa sadar, aku menulis: ‘Ummu Abiha’.”

Selanjutnya, Hujjatul Islam Sayid Ali Murtadha Zaidi, seorang mubaligh Pakistan, menguraikan isi Surat ke-69 Nahjul Balaghah, yang ditujukan Imam Ali (as) kepada sahabat setianya, Harits al-Hamdani.

Ia menjelaskan bahwa Imam (as) memerintahkan Harits untuk selalu membawa pena dan kertas agar setiap kali beliau menyampaikan ilmu, dapat segera ditulis dan disimpan. Hal ini menunjukkan betapa tinggi nilai ilmu, penulisan, dan pelestarian warisan pengetahuan dalam pandangan Imam Ali (as).

Dalam sesi berikutnya, Mufti Fadhl Hamdard, salah satu ulama terkemuka Ahlusunnah di Pakistan, menyampaikan pidato berjudul “Kemuliaan Nahjul Balaghah”. Ia menegaskan bahwa Nahjul Balaghah adalah kitab persatuan, sebuah karya yang mampu mendekatkan umat Islam melalui nilai-nilai pemikiran dan keadilan Alawi.

Ia menambahkan bahwa ulama dan cendekiawan Sunni sejak dahulu menaruh perhatian besar terhadap Nahjul Balaghah. Tokoh besar seperti Abul Hasan Bayhaqi, Fakhruddin Razi, dan Syaikh Muhammad Abduh termasuk di antara para sarjana yang telah menulis karya berharga dalam menafsirkan kitab ini.

Berikutnya, Hujjatul Islam wal Muslimin Sayyid Aqil al-Gharawi, khatib terkemuka asal India, dalam pidato daringnya menekankan keagungan sabda dan khutbah Imam Ali (as). Ia berkata:

“Kata-kata dan khutbah Imam Ali (as) memiliki kedalaman dan keagungan yang tiada banding dalam sejarah manusia. Setiap katanya adalah cahaya yang menuntun manusia dari kegelapan menuju pencerahan.”

Beliau juga memuji langkah Pusat Pemikiran Islam yang telah mengumpulkan dan menerbitkan puisi-puisi para penyair kontemporer tentang Nahjul Balaghah, serta mendorong agar upaya ini terus berlanjut dengan cara yang lebih indah dan luas agar para pecinta kalam Alawi semakin mengenalnya.

Akhirnya, Hujjatul Islam Maqbool Husain Alawi, kepala Pusat Pemikiran Islam, menyampaikan penjelasan tentang khutbah ke-180 Nahjul Balaghah. Ia menggambarkan suasana spiritual saat khutbah itu disampaikan:

“Nauf al-Bikali meriwayatkan bahwa Imam Ali (as) menyampaikan khutbah ini di Kufah, di atas batu yang dipasang oleh Ja’dah bin Hubairah Makhzumi. Saat itu Imam mengenakan jubah dari bulu domba, pedangnya diikat dengan tali kurma, dan sandal beliau terbuat dari daun kurma. Bekas sujud panjang tampak jelas di dahinya, seperti bekas pada lutut unta.”

Ia melanjutkan:

“Di tengah khutbah, Imam (as) meletakkan tangan suci di janggutnya dan menangis lama: ‘Fa athala al-bukā’…’.”

Hujjatul Islam Maqbool Husain Alawi melanjutkan:

“Sebagaimana Imam adalah sosok yang didzalimi, demikian pula kalam beliau kini masih dalam keterasingan. Tugas kita hari ini adalah membebaskan warisan agung ini dari kesunyian, menyebarkannya ke seluruh dunia, dan menanamkannya di hati para pemuda, agar Imam Ali (as) berkenan dan ridha.”

Tags

Your Comment

You are replying to: .
captcha